AI Bisa Segalanya, Tapi Siapa yang Menyelamatkan Imajinasi Anak Kita?

Pinterest LinkedIn Tumblr +

Hari ini, semua orang bicara tentang AI.

Buka media sosial, headline-nya: “AI Bakal Gantikan 80% Pekerjaan!”, “Desain Pakai AI? Tinggal Klik Selesai!”, “Musik, Gambar, Tulisan – Semua Bisa Dibikin AI!”

Heboh. Hebat. Hebat banget malah.

Tapi, di tengah keramaian itu, ada satu hal yang diam-diam bikin saya cemas. Bukan karena saya takut pekerjaan saya bakal tergantikan robot. Bukan juga karena saya anti teknologi. Saya justru orang teknologi, hidup dari teknologi, dan sudah belasan tahun ngulik programming dan digital.

Tapi keresahan saya datang dari tempat yang lebih dalam: anak-anak kita.

Dunia yang Terlalu Sempurna

AI bikin semuanya terlihat sempurna. Gambar digital sekarang bisa seindah lukisan Monet atau se-detail film Pixar, padahal si pembuatnya cuma ketik prompt lima kata. Musik bisa keluar dari laptop tanpa satu not pun disentuh. Cerita fiksi bisa ditulis dalam 3 menit, lengkap dengan twist ala-ala Netflix.

Sekilas, semua ini terlihat keren.

Tapi coba lihat dari sisi lain: dimana tempat untuk imajinasi dan proses kreatif anak-anak kita kalau semuanya tinggal minta ke AI?

Dulu, anak-anak bikin cerita dari pensil warna dan kertas. Sekarang? Mereka cukup bilang, “Buat dong cerita tentang naga dan astronot yang jadi teman baik,” dan AI langsung menyuguhkan paragraf-paragraf puitis, sempurna, nyaris tanpa cela.

Effort? Nol.

Dan itulah masalahnya.

Ketika Proses Tidak Lagi Dihargai

Kreativitas itu bukan cuma hasil akhir. Kreativitas adalah proses. Kadang menyebalkan. Kadang membingungkan. Tapi justru di situlah keindahannya.

Bayangkan anak belajar menggambar karakter. Di awal jelek banget, lalu dia latihan tiap hari. Belajar bentuk, warna, komposisi. Lalu dua tahun kemudian, dia bikin animasi kecil. Bukan Pixar. Tapi karyanya sendiri. Punya emosi. Punya perjuangan.

BACA JUGA  Memaksimalkan Distribusi Konten: Channel Terbaik untuk Pengguna Internet di Indonesia

Bandingkan dengan anak yang tinggal masukkan prompt dan dapat hasil akhir dalam 15 detik. Keren? Iya. Tapi apa dia belajar sesuatu?

Tanpa kita sadari, AI sedang mengikis ruang untuk berjuang. Ruang untuk gagal. Ruang untuk berpikir panjang dan ngulik hal ribet. Dan itu bahaya. Karena di situlah sebenarnya letak kreativitas manusia.

Emosi yang Tak Tergantikan

Foto oleh Andrea Piacquadio: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-muda-bermasalah-menggunakan-laptop-di-rumah-3755755/

Saya percaya, AI secanggih apapun tidak akan bisa menggantikan manusia dari sisi emosional. AI bisa tiru gaya bicara orang. Bisa bikin lirik lagu yang menyayat hati. Tapi dia tidak tahu rasanya patah hati.

AI bisa buat cerita sedih. Tapi dia tidak pernah kehilangan seseorang yang dicintai.

AI bisa buat lukisan. Tapi dia tidak tahu rasa sakit saat kamu mencoba mengekspresikan rasa rindu lewat warna.

Artinya, selama ini kita bilang kreativitas manusia itu unik, personal, dan emosional. Tapi ironi terbesarnya adalah: kita sedang menyingkirkan semua itu demi hasil akhir yang sempurna dari mesin.

Dan di masa depan, saya khawatir, bukan AI yang menggantikan manusia. Tapi manusia yang menyerahkan semuanya ke AI, dan akhirnya kehilangan kemampuannya sendiri untuk berkreasi.

Ajarkan Fundamental, Bukan Sekadar Shortcut

Saya bukan anti AI. Tapi saya juga tidak percaya pada glorifikasi AI yang berlebihan.

Yang saya percaya adalah: anak-anak harus tetap dibekali fondasi. Ajarkan mereka programming sejak dini. Bukan supaya mereka jadi coder, tapi supaya mereka paham logika, struktur berpikir, dan bagaimana sesuatu bisa bekerja di balik layar.

Ajarkan mereka Scratch. Platform visual coding ini bukan cuma lucu-lucuan. Ini adalah gerbang anak-anak untuk mengerti bagaimana instruksi dan kreativitas bisa berpadu.

BACA JUGA  UKM As Salam IIB Darmajaya Hadirkan Baraa Masoud Ajak Mahasiswa Muslim Cinta Al-Qur’an

Ajarkan mereka buat animasi. Bukan sekadar edit video dengan filter TikTok, tapi animasi dari nol. Frame per frame. Gambar demi gambar. Seperti film Jumbo yang dibuat dengan penuh cinta dan kesabaran.

Biar anak-anak tahu bahwa keindahan bukan cuma di hasil, tapi juga di perjalanan mencapainya.

Kegilaan Akan “Instan”

Di dunia sekarang, semuanya instan.

Instan followers.
Instan famous.
Instan template.
Instan bisnis digital.
Instan… apapun yang bisa disikat cepat.

AI makin mempercepat semua itu. Tapi kita lupa: yang instan itu cepat naik, tapi juga cepat hilang. Kreativitas yang dibentuk lewat proses, itu yang bertahan.

Karena itulah, saya termasuk orang yang nggak mudah silau dengan perkembangan AI. Saya pakai AI, iya. Tapi saya tahu batasnya. Dan saya nggak mau anak saya tumbuh jadi generasi yang hanya tahu “klik → selesai”.

Saya ingin mereka tahu rasanya frustrasi karena animasi mereka patah-patah. Rasanya senang waktu game buatan sendiri akhirnya jalan. Rasanya puas setelah berjam-jam ngulik coding di Scratch cuma buat bikin karakter loncat-loncat.

Itu semua membentuk mental. Dan dari sanalah lahir kreativitas yang hidup.

Masa Depan Tidak Cukup Dengan “Cepat”

Hari ini kita bangga bisa bikin apapun dengan AI.

Tapi pertanyaannya: apakah itu akan menciptakan generasi kreator, atau generasi pengarah prompt?

Jika kita biarkan anak-anak tumbuh tanpa diajak berpikir, berproses, dan mengeksplorasi, maka 10-20 tahun lagi kita mungkin punya dunia yang penuh visual keren tapi kosong makna.

Penuh musik catchy tapi tanpa rasa.

Penuh cerita yang bikin nangis, tapi ditulis oleh mesin yang tidak pernah tahu apa itu air mata.

Teknologi Harus Jadi Alat, Bukan Pengganti

Teknologi harus menjadi alat bantu. Bukan pengganti usaha manusia. Terutama dalam hal kreativitas.

BACA JUGA  10 Resep Olahan Cumi-cumi yang Bikin Goyang Lidah

Kita masih bisa menyelamatkan masa depan. Caranya?

  • Ajarkan anak-anak membuat, bukan cuma mengkonsumsi.
  • Ajarkan proses, bukan hasil.
  • Ajarkan bahwa gagal itu bagian dari belajar.
  • Ajarkan coding, animasi, cerita, ilustrasi.
  • Bukan karena semua anak harus jadi seniman atau programmer, tapi karena semua anak harus tahu bagaimana menciptakan sesuatu dari dirinya sendiri.

Biar kelak, ketika dunia ini sudah terlalu dipenuhi oleh hasil instan dari mesin, anak-anak kita masih bisa berkata:

“Aku tahu cara membuat ini. Dengan tanganku sendiri.”

Dan menurut saya, itulah kreativitas yang sejati. Yang tak akan pernah bisa digantikan oleh AI.

Kalau kamu sepemikiran, mari jadi bagian dari orang-orang yang nggak sekadar mengagumi teknologi, tapi juga menjaga manusia tetap menjadi manusia.

Share.

About Author

Kami percaya bahwa belajar teknologi tidak harus bikin pusing. Lewat konten edukatif dan kelas online di bytecourse.id, Kami berusaha membantu siapa saja—terutama pemula—agar bisa belajar coding dan desain dengan cara yang santai, relevan, dan aplikatif.

Leave A Reply