dKonten.com, Bisnis – “Model bisnis paling mendasar dari semua perusahaan adalah berusaha menciptakan produk yang unggul, dilirik pasar, lalu jual produk tersebut sebanyak-banyaknya,” tulis Tien Tzuo dalam bukunya berjudul Subscribed: Why the Subscription Model Will Be Your Company’s Future and What to Do About It (2018).
“Untuk menggenjot pendapatan, selain berusaha mencari pembeli baru, perusahaan dapat melakukannya dengan cara memangkas biaya produksi.” Sayangnya, menurut Tzuo, lebih dari 50 persen perusahaan yang masuk dalam S&P 500 pada dekade 1950-an dan menjalankan model bisnis itu kini sudah lenyap. Alasannya sederhana: jumlah konsumen terbatas.
Bumi hanya diisi tujuh miliar jiwa, dan jika suatu produk benar-benar dibutuhkan semua manusia, tentu saja tidak mungkin angka tersebut jadi ambang batas yang tidak bisa dilanggar. Plus, ketika perusahaan menjual produk (atau konsumen membeli produk untuk memperoleh hak milik), tidak ada cukup alasan bagi pembeli lama untuk membeli lagi produk tersebut kecuali jika produknya rusak dan benar-benar dibutuhkan. Maka, untuk dapat bertahan, perusahaan mau tak mau harus terus meregenerasi produk. Tak ketinggalan, perusahaan pun harus berani menciptakan produk di bidang lain. Untuk urusan ini, Apple adalah jawaranya. Usai sukses dengan Apple II, Apple merilis Macintosh sebagai produk revolusioner di bidang komputer. Tak cukup, mereka melebarkan sayap bisnis dengan membuat iPod (pemutar musik), iPhone (ponsel), iPad (ponsel versi komputer, atau sebaliknya), dan Apple Watch (jam tangan).
Mengubah model bisnis tak terelakan bagi banyak perusahaan. Tentu, perubahan model bisnis yang dimaksud adalah bergerak dari menjual barang ke menjual akses berlangganan. Masih dalam bukunya, Tzuo mengatakan bahwa model bisnis konvensional, menjual produk dan membuat perusahaan hanya terfokus pada barang.
Sementara itu, model bisnis berlangganan atau subscription economy berbeda: fokus utama perusahaan adalah konsumen. Perusahaan dituntut memberikan nilai tambah terus-menerus pada konsumen, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka.
Netflix bisa sukses karena akhirnya memahami kebutuhan pengguna. Awalnya, sebagaimana dikisahkan Randolph dalam That Will Never Work: The Birth of Netflix and the Amazing Life of an Idea (2019), Netflix memberlakukan denda. Tak ketinggalan, alur rental DVD Netflix kala itu mengharuskan pelanggan untuk terus-terusan datang ke website untuk memilih film, mengisi kolom pembayaran, dan menonton dalam rentang waktu tertentu. Plus, ketika menyewa lebih dari satu keping DVD, pelanggan diharuskan mengembalikannya sekaligus. Akhirnya, pelanggan membenci skema ini, lalu memilih membeli keping DVD alih-alih menyewanya. Netflix berbenah. Randolph dan Hastings merilis skema berlangganan semenjak musim semi 1999. Melalui skema berlangganan, Netflix mematok tarif rata (flat), yakni USD 15,99 per bulan kala itu. Karena skema bisnis ini tidak memberikan hak kepemilikan (keping DVD), Netflix menggantinya dengan nilai (value) berbeda yang lebih unggul: tidak ada batasan keping DVD yang dapat dipinjam, tidak ada batasan waktu menonton, tidak ada denda, dan pelanggan dapat mengembalikan DVD kapanpun mereka mau. Lalu, untuk membuat pelanggannya aktif mengembalikan, Netflix aktif langsung mengirimkan keping DVD lain tatkala pelanggan mengembalikan film sewaannya.
Tak disangka, dengan model bisnis berlangganan (dan usai hijrah dari keping DVD menjadi aplikasi streaming), Netflix memiliki 155 juta pelanggan pada 2019 lalu. Andai saja tiap pelanggan harus mengeluarkan uang Rp100.000 per bulan untuk dapat menonton segala film/serial, tanpa harus menambah satu pelanggan pun, Netflix memperoleh pendapatan tetap senilai Rp15,5 triliun tiap bulan. (Catatan: tanpa berandai-andai, pendapatan Netflix sepanjang 2019 adalah Rp288,24 triliun atau Rp24,02 triliun per bulan). Klaim Randolph, Netflix adalah perusahaan yang pertama menerapkan skema berlangganan di dunia maya. Kini, hampir segala hal dapat dinikmati secara berlangganan di internet, mulai dari musik (Spotify dan Youtube Music), buku (Kindle Unlimited), video games (Apple Arcade), aplikasi kreatif (Adobe Creative Cloud), aplikasi perkantoran (Office 365), hingga senam (Peloton dan Apple Fitness Plus).
Tak ketinggalan, dalam bentuk sederhana, Gojek dan Grab pun menawarkan paket berlangganan yang membuat pengguna aplikasi ride-sharing tersebut dapat menikmati tarif yang lebih terjangkau. Tentu, menggiring masyarakat untuk rela menanggalkan konsep kepemilikan dan beralih ke persewaan bukan perkara mudah. Kembali merujuk Tzuo, perusahaan wajib mengubah produk menjadi layanan (service) tatkala hendak menjalankan model bisnis berlangganan. Perusahaan harus mengemas barang dagangan agar terus-terusan memberi nilai tambah.
Adobe, misalnya, kini tak hanya menjadikan Photoshop sebagai aplikasi penyuntingan foto semata, tetapi membungkusnya dengan layanan penyimpanan digital (cloud storage) sehingga pengguna dapat menyunting serta mengakses foto di mana saja dan kapan saja. Tak ketinggalan, Adobe pun merilis tutorial cara mengubah foto menjadi karya seni langsung di aplikasi Photoshop. Dan melalui Behance, pengguna Photoshop diberi medium untuk memamerkan karya ke dunia luar.
Bagi Netflix, nilai tambah sama dengan katalog film yang luar biasa besarnya. Ini juga dilakukan Spotify. Dalam Laporan Keuangan Tahunan Netflix (PDF), Netflix mengelontorkan uang senilai USD 14,7 miliar untuk membeli lisensi film/serial dari berbagai studio pada 2019. Dengan alasan yang sama, dalam llaporan keuangan tahunannya (PDF), Spotify menghabiskan uang senilai 898 juta euro untuk membayar royalti musik ke berbagai label pada 2019. Tentu, seiring meningkatnya jumlah pelanggan dan semakin menggiurkannya bisnis berlangganan, Spotify menyebut label-label musik memaksa mereka membayar royalti yang kian mahal tiap tahunnya.
Di sisi lain, Netflix menghadapi ancaman studio-studio mitra yang merilis aplikasi streaming. Walhasil, Netflix menganggarkan USD 9,8 miliar pada 2019 untuk membuat film/serial sendiri alias “Netflix Original”. Secara keseluruhan, Netflix menghabiskan uang senilai USD 12,4 miliar sebagai ongkos untuk bertahap hidup. Spotify memerlukan 5,04 juta euro untuk tujuan yang sama. Model bisnis berlangganan sesungguhnya tidak memberikan pendapatan fantastis. Marjinnya tipis. Yang jelas, pendapatannya tetap aman.(tirto.id)